Sejarah Kakak Aman Indonesia

Kakak Aman Awal tahun lalu kondisi serupa dialami Hana Maulida, seorang Ibu di Serang, Banten. Pagi itu langkah kakinya terhenti di depan televisi di rumahnya. Ia terpaku menatap dan mendengar berita tentang kekeransan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Semakin lama Ia berdiri, tak terasa air matanya menitik

Air mata itu bercampur aduk dengan amarah dalam dirinya. Pikirannya tak bisa lepas dari kondisi si anak yang pasti sedang sangat terluka dan depresi. Ia bertanya-tanya, sampai kapan penderitaan anak-anak ini akan berakhir?

Tak ingin larut dengan situasi itu, Hana mencoba menghubungi kedua temannya untuk bertemu yang salah satunya adalah guru SD. Tujuannya untuk menyalurkan rasa kekecewaan melalui sebuah diskusi. “Selama ini kita perhatikan di media sosial, jika ada postingan tentang kekerasan seksual pada anak maka publik cenderung akan berkomentar dengan nada mengutuk dan cacian terhadap pelaku. Tetapi, tidak ada solusi pencegahan yang ditawarkan. Disaat kita sudah puas menyalurkan rasa amarah, lantas bagaimana dengan anak-anak lainnya di luar sana? Apakah mereka akan aman? Sementara jumlah anak saat ini mencapai 30 persen dari total populasi. Bukankah angka ini besar?”.

Bersama kedua temannya yang juga resah dengan kondisi tersebut, mereka berdikusi lama di sebuah warung bakso. Mereka mengulik luka mendalam akibat maraknya kekerasan seksual pada anak. Dari rasa prihatin itu semangat untuk bergerak mulai tumbuh. Mereka kemudian mengikat janji untuk terlibat dalam membentengi anak dari bayang-bayang kekerasan seksual.

Gerakan itu juga didasari pernyataan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang mengaskan Indonesia saat ini darurat kekerasan seksual terhadap anak. Merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada rentang Januari hingga November 2023 sudah terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki. 

Dari angka itu, kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2023. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini umumnya berasal dari lingkungan terdekatnya. Mulai pacar, teman, tetangga, guru bahkan orangtuanya sendiri

“Dari data dan fakta di atas, dapat disimpulkan ruang aman anak sekarang ini semakin terancam. Dibutuhkan gerak bersama untuk mencegah hal ini, jangan sampai berita kekerasan seksual terhadap anak menjadi biasa dan ke-normalan pada masyarakat kita,” tegas Hana.

Tak berlama-lama, satu minggu kemudian, mereka memulai langkah kecil dengan mengunjungi sekolah tempat sahabatnya itu mengajar.

Fakta mengejutkan ditemukan Hana pada kunjungan itu. Rata-rata siswa SD tersebut, baik perempuan dan laki-laki, mengaku pernah menonton video porno. Lalu, seorang guru juga mengaku pernah menemukan keisengan anak menggambar alat kelamin.

Dari pertemuan singkat itu, kekhawatiran Hana kian bergejolak. Apalagi, kegiatan hari itu Ia unggah di media sosial dan mendapat tanggapan positif dari rekan-rekannya yang berprofesi sebagai pendidik. Banyak di antara mereka yang mengundang untuk berbagi pengalaman serupa di sekolahnya.

“Berangkat dari kondisi itu, kami kemudian memberi nama inisiatif ini dengan sebutan Gerakan Kakak Aman. Langkah selanjutnya, mengunjungi para ahli seperti psikolog anak, dokter anak, pemerhati anak dan stakeholder terkait lainnya untuk berkonsultasi terkait modul pembelajaran yang baik dan cocok untuk anak,” terang Hana.

Modul itu disusun secara menarik dan kreatif agar anak tertarik dan memahaminya dengan mudah. Seperti dongeng, cerita bergambar dan lainnya.

Metode ceramah atau komunikasi satu arah yang selama ini diterapkan banyak pihak dalam mengedukasi soal kekerasan seksual, menurut Hana kurang efektif. Sebab, mereka tidak dilibatkan sehingga anak tidak mendapatkan pengalaman langsung.

Adapun Gerakan Kakak Aman ini memiliki dua modul. Pertama, modul untuk anak dalam jumlah banyak dengan sekali kegiatan. Pada modul ini, ada dua pesan yang disampaikan. Yakni membahas area privasi tubuh pada anak dan sikap mereka ketika menemui situasi sulit. Seperti saat menemukan seseorang yang membahayakan mereka, para anak diajarkan untuk berani bilang tidak, lalu lari dan melaporkan hal tersebut kepada orang terdekat.

“Kemudian untuk modul kedua agak kompleks, karena ditujukan untuk anak dalam jumlah sedikit. Melalui relawan yang bergabung bersama gerakan ini, mereka menjadi fasilitator dan pengajar dengan pembahasan materi secara mendalam selama 4 kali pertemuan. Dan bukan untuk anak saja, kami juga mengedukasi para guru dan orangtua terkait  Kekerasan Seksual pada anak ini,” papar Hana.

Menariknya, modul Gerakan Kakak Aman ini gratis dan tidak eksklusif. Siapa saja bisa mempelajarinya sehingga gerakan ini bisa dimulai kapan saja dan dimana saja, Sebab, mengingat Hana dan kedua temannya juga memiliki kesibukan, maka cara tersebut menjadi solusinya.

“Yang ingin terlibat dalam gerakan ini bisa menghubungi kami. Lalu kami akan adakan semacam coaching atau briefing sebelum calon relawan tersebut turun melakukan edukasi kepada anak-anak. Dengan begitu, kami tidak harus turun ke daerah tersebut dan jangkauan gerakan ini juga meluas,” terangnya.