Berhenti Mengutuk, Saatnya Bertindak Menjaga Masa Depan Anak dari Kekerasan Seksual

“Selama ini kita perhatikan di media sosial, jika ada postingan tentang kekerasan seksual pada anak maka publik cenderung akan berkomentar dengan nada mengutuk dan cacian terhadap pelaku. Tetapi, tidak ada solusi pencegahan yang ditawarkan,” Hana Maulida, Pendiri Gerakan Kakak Aman dan Penerima SATU Indonesia Awards 2024.

TRIBUNPEKANBARU.COM – Rabu (2/10/2024) sore, rutinitas di ruangan redaksi Tribun Pekanbaru di Jalan Imam Munandar tampak seperti biasanya. Belasan editor fokus menatap monitor untuk mengedit berita yang dikirim para wartawan.

“Kemarin (bulan lalu) dari kabupaten ini juga ada berita ayah cabuli anak kandung, sekarang siswi SMP diperkosa oleh 6 teman prianya selama tiga hari,” katanya geram dengan suara lantang. 

Rasa marah dan kekecewaan itu juga didasari statusnya sebagai Ibu bagi dua orang putri yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Perasaan cemas kerap menghantuinya karena tidak bisa membersamai kedua putrinya selama 24 jam. 

Apalagi, pekerjaan yang ditekuni membuat kesehariannya akrab dengan berita tersebut dan memaksanya ikut membaca berbagai kisah pilu anak yang mengalami kekerasan seksual.

“Beginilah dampak kemajuan teknologi itu. Orang dewasa sampai anak-anak dengan bebas bisa mengakses konten pornografi tanpa ada batasan. Sementara pendidikan seksual di negara kita masih dianggap tabu,” tuntasnya.

Awal tahun lalu kondisi serupa dialami Hana Maulida, seorang Ibu di Serang, Banten. Pagi itu langkah kakinya terhenti di depan televisi di rumahnya. Ia terpaku menatap dan mendengar berita tentang kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Semakin lama Ia berdiri, tak terasa air matanya menitik.

Tak berlama-lama, satu minggu kemudian, mereka memulai langkah kecil dengan mengunjungi sekolah tempat sahabatnya itu mengajar.

Fakta mengejutkan ditemukan Hana pada kunjungan itu. Rata-rata siswa SD tersebut, baik perempuan dan laki-laki, mengaku pernah menonton video porno. Lalu, seorang guru juga mengaku pernah menemukan keisengan anak menggambar alat kelamin.

Dari pertemuan singkat itu, kekhawatiran Hana kian bergejolak. Apalagi, kegiatan hari itu Ia unggah di media sosial dan mendapat tanggapan positif dari rekan-rekannya yang berprofesi sebagai pendidik. Banyak di antara mereka yang mengundang untuk berbagi pengalaman serupa di sekolahnya.

“Berangkat dari kondisi itu, kami kemudian memberi nama inisiatif ini dengan sebutan Gerakan Kakak Aman. Langkah selanjutnya, mengunjungi para ahli seperti psikolog anak, dokter anak, pemerhati anak dan stakeholder terkait lainnya untuk berkonsultasi terkait modul pembelajaran yang baik dan cocok untuk anak,” terang Hana.

Modul itu disusun secara menarik dan kreatif agar anak tertarik dan memahaminya dengan mudah. Seperti dongeng, cerita bergambar dan lainnya.

Metode ceramah atau komunikasi satu arah yang selama ini diterapkan banyak pihak dalam mengedukasi soal kekerasan seksual, menurut Hana kurang efektif. Sebab, mereka tidak dilibatkan sehingga anak tidak mendapatkan pengalaman langsung.

Adapun Gerakan Kakak Aman ini memiliki dua modul. Pertama, modul untuk anak dalam jumlah banyak dengan sekali kegiatan. Pada modul ini, ada dua pesan yang disampaikan. Yakni membahas area privasi tubuh pada anak dan sikap mereka ketika menemui situasi sulit. Seperti saat menemukan seseorang yang membahayakan mereka, para anak diajarkan untuk berani bilang tidak, lalu lari dan melaporkan hal tersebut kepada orang terdekat.

“Kemudian untuk modul kedua agak kompleks, karena ditujukan untuk anak dalam jumlah sedikit. Melalui relawan yang bergabung bersama gerakan ini, mereka menjadi fasilitator dan pengajar dengan pembahasan materi secara mendalam selama 4 kali pertemuan. Dan bukan untuk anak saja, kami juga mengedukasi para guru dan orangtua terkait kekerasan seksual pada anak ini,” papar Hana.

Menariknya, modul Gerakan Kakak Aman ini gratis dan tidak eksklusif. Siapa saja bisa mempelajarinya sehingga gerakan ini bisa dimulai kapan saja dan dimana saja, Sebab, mengingat Hana dan kedua temannya juga memiliki kesibukan, maka cara tersebut menjadi solusinya.

“Yang ingin terlibat dalam gerakan ini bisa menghubungi kami. Lalu kami akan adakan semacam coaching atau briefing sebelum calon relawan tersebut turun melakukan edukasi kepada anak-anak. Dengan begitu, kami tidak harus turun ke daerah tersebut dan jangkauan gerakan ini juga meluas,” terangnya.





Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *